Reconnected Access Memory merupakan prototype project dari RAM Museum yang saat ini telah berjalan hingga 3 seri, sekaligus menjadi seri pertama RAM Museum. Proyek ini diinisiasi oleh Riyan Kresnandi yang berproses melalui kelas seni non-formal milik Yayasan Biennale Yogyakarta "Asana Bina Seni" pada tahun 2020.
Dalam praktiknya Riyan Kresnandi merespon situasi atau kondisi pandemi yang terjadi kala itu, dimana aktifitas fisik sangat dibatasi yang kemudian memaksa masyarakat menggunakan teknologi virtual sebagai alat bantu utamanya dengan segala macam keterbatasannya. Berangkat dari sana Riyan melihat suatu peluang-peluang baru yang ada di dunia virtual. Salah satunya ialah kebebasan berekspresi. Bagaimana tidak, hampir seluruh ekspresi yang tidak mampu dikeluarkan di dunia nyata dapat tertranformasikan di dalam dunia internet tanpa harus mempengaruhi dunia nyatanya.
Peluang inilah yang menjadi landasan Riyan untuk coba menyajikan karya-karya seni yang pernah disingkirkan, baik oleh pemerintah maupun massa melalui Reconnected Access Memory. Sebuah museum virtual yang dibangun melalui medium video game Minecraft. Museum ini menyajikan karya-karya yang pernah disingkirkan pada masanya, baik melalui persekusi, pembubaran, pemblokiran, bahkan penghancuran.
Bagian yang Hilang
oleh: Anam Khoirul (kurator RAM)
Peristiwa-peristiwa pelarangan, penyensoran, pembubaran, bahkan pengrusakan karya seni yang terjadi di Indonesia, secara sadar dan tidak sadar mempengaruhi terhadap penciptaan karya-karya yang mengangkat isu-isu sensitif, di luar kesadaran estetik dan spiritual. Kesadaran sosial itu tumbuh dan berkembang di dunia seni. Sebagai makhluk sosial, manusia menggunakan seni sebagai alat untuk berkomunikasi menyampaikan gagasannya dengan mengkaji ulang nilai-nilai yang sudah ada dan menyampaikannya kembali sebagai ilmu pengetahuan. Tidak terkecuali gagasan-gagasan mengenai kritik sosial di lingkungannya yang dianggap ‘salah’. Hal ini sesuai dengan pendapat Shakespeare dengan analogi seni rupa sebagai “cermin” dan pendapat kritikus Marxis, Leon Trotsky dengan analogi seni sebagai “palu” yang membentuk sosial-budaya masyarakat. Sejalan dengan pendapat V.I. Lenin (1905) yaitu seni berfungsi sebagai suatu pedoman untuk membangkitkan, memelihara, dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam realitas-realitas sosial.
Pesan-pesan dalam sebuah karya seni memuat nilai-nilai pengetahuan yang memberi perspektif yang lain dan baru. Dengan kata lain, seni sebagai media yang masih ramah bagi isu-isu sensitif atau alternatif untuk menghindari sensor jalanan yang sering menyerang dan mencekal kebebasan berpendapat dan berkesenian. Seperti museum virtual ini, adalah sebuah alternatif untuk menghindari hal tersebut dengan menggunakan ruang-ruang “eksklusif” di dunia maya. Di mana, museum ini mengumpulkan dan mewadahi isu-isu yang dianggap sensitif menyoal pornografi, sentiment agama, komunisme dan kebebasan berekspresi yang mencoba dihilangkan. Selain hal itu, museum virtual ini menjadi seni itu sendiri, dimana memuat nilai-nilai kritis yang mencerminkan ketidak demokratisnya dalam realitas sosial di Indonesia, dan sikap politis memperjuangkan kesetaraan berpendapat dan berkesenian lewat alternatif baru.
Kontributor:
Kurator Museum: Anam Khoirul
Rancang Gambar Bangun: Galih Arya Pinandita
Sistem Jaringan: Bramantyo Aryo Wicaksono
Desain & Video: Tadiga Kurniananda