Ini Minecraft. Permainan di mana atom-atom dunianya tersusun dari balok-balok piksel. Permainan di mana kita bisa membuat sendiri dunia seturut aturan-aturannya. Permainan yang benar-benar kembali ke asal katanya: main-main. Jadi, kalau ada yang serius, ah, anggap saja main-main.
Ini MIVUBI. Digawangi Riyan Kresnandi sejak 2020, mereka sudah berpameran dua kali; sama-sama menggunakan game Minecraft sebagai mediumnya. Edisi pertama, mereka berkenalan dan mengenalkan sejarah seni negara-negara bekas jajahan di Asana Bina Seni 2020.
Edisi kedua, mereka belajar dan mengajarkan bahwa seni yang berhasil adalah seni yang mengganggu, syukur-syukur diberangus, meski sudah di masa Reformasi (yang katanya lebih bebas). Itu dipamerkannya di ARTJOG 2022.
Edisi ketiga-sekarang-mereka belajar bahwa pemberangusan seni cuma bagian kecil dari gambar yang lebih besar. Metode pemberangusannya sama: mengganggu ketertiban, “sudah dipolitisir”, hingga merusak moral bangsa. Mereka, anak-anak yang rerata masih usia SMA, sadar kalau setelah Reformasi, tidak banyak yang berubah. Protes masih dihadang dan kasus-kasus kekerasan aparat tidak boleh dikelupas.
Inilah “Deactivating Activism”, pameran ketiga MIVUBI yang dibuat sepenuhnya virtual untuk pertama kalinya.
Pilihan virtual sepenuhnya bukan tanpa alasan. Mereka ingin karya (seni) dan pengetahuan tidak hanya dikunyah oleh LLLL (Lu Lagi Lu Lagi) alias orang yang biasa mengunjungi galeri seni. Mereka ingin, setidaknya, teman-teman gamers-nya bisa paham bahwa nasib buruk orang lain karena negara, suatu saat bisa saja menimpa mereka. Karena, mereka toh sama: sama-sama bukan siapa-siapa.
Di dalam server ini, Deactivating Activism menyajikan beragam kasus dengan beragam bentuk dan mode permainan. “Penggerebekan Pasar Gratis” dimainkan dengan partisipasi player mengumpulkan “barang-barang”; bukan untuk dijual, tapi untuk dibagi gratis. Upaya POLRI menggembosi KPK dibikin jadi duel tinju NPC (figur dalam permainan) bertajuk “Cicak vs Buaya”. Benar-benar binatang cicak melawan buaya, ditambah kostum warna seragam masing-masing.
Beberapa “instalasi” atau bangunan lainnya masih menggunakan metode klasik-display instalasi-seperti yang tampak dalam “Monumen Marsinah” yang ditampilkan persis seperti karya Moelyono di “100 Hari Meninggalnya Marsinah” 1993 atau Biennale Jogja 2019. Diorama penggusuran lahan warga demi New Yogyakarta International Airport (NYIA) dibangun lengkap dengan patok proyek dan alat berat.
Semuanya disajikan di dunia yang tidak bisa dipegang, apalagi dipentung. Dan ini cuma pameran. Namun Mereka-Yang-Kita-Tahu-Siapa tidak pernah peduli bentuknya. Mural? Dihapus. Meminta hak atas tanah untuk tinggal dan berladang? Tidak boleh.
Mereka juga tidak peduli siapa yang protes. Buruh pabrik perempuan? Sikat. Anak jalanan? Habisi. Singkatnya, mereka tidak peduli semuanya. Tidak peduli cuma pameran, cuma game, atau cuma gamers SMA. Mereka cuma peduli “alasan”. Dan alasan protes nyaris selalu sama: meminta keadilan.
Deactivating Activism adalah rangkuman ketidakadilan atas orang-orang yang meminta keadilan. Pemberangusan demi pemberangusan. Kabar buruknya, kekerasan itu terus berlanjut. Kabar baiknya, Mereka-Yang-Kita-Tahu-Siapa mungkin tidak pernah main game, apalagi Minecraft. Karena mereka tidak butuh permainan sebab dunia “asli” sudah dimain-mainkan oleh mereka.
Dhias Nauvaly
Reseacher & Curator